Sore yang cukup berawan. Matahari enggan menampakkan batang hidungnya sama sekali. walau hanya untuk sekedar membagi secercah sinarnya pada dunia.
Aku tengah mengemasi snack ringan kedalam tas ranselku, hingga seseorang berteriak keras keras padaku. suara itu berasal dari depan rumah yang kutempati saat ini.
“iya bentar!!!!!!!!!!” aku mengimbangi teriakannya.
“cepet dong udah sore ni!!!!!!!” suara itu muncul lagi. Kali ini lebih keras.
Aku mencangklong tas ranselku. bergegas keluar rumah. Sembari memperbaiki letak jilbab mungilku.
Pemilik suara itu tak lain adalah hikmah. Dia dan Juni tengah berbicara serius dengan kakakku. suasana hening sesaat begitu mereka menyadari kehadiranku.
”kamu juga mau ikut? Emang mau ngapain sih pakai acara muncak-muncak segala?????!” kata kakakku yang akrab dipanggil kang run, memecah keheningan. Di tangan kanan ia masih memegang erat-erat novel berbahasa inggris kesayangannya. pasti teriakan hikmah tadi telah membuatnya terhenti dari rutinitas kesehariannya itu.
”soalnya kan.........” aku mencoba menerangkan, namun hikmah cepat memotong perkataanku.
”acara osis kok kang. Penting!! ibu dah ngijinin aku kok. Dhe yem juga sudah ngijinin Yuni. fitri hola juga. Tinggal enka aja. Boleh ya kang???? Ya.” kata hikmah setengah merayu atau lebih tepatnya memaksa.
”emangnya di puncak mau ngadain rapat??? ngga’ masuk akal banget.”
”terserah sih kalau enka mau ikut, tapi kalau dimarahin ibu tanggung sendiri, Aku sudah coba memperingati kalian lho. kalau terjadi apa-apa jangan salahkan aku.” kata kang run, sambil melangkahkan kaki memasuki rumah. Raut wajahnya datar seperti tak terjadi apa-apa.
”Ayo dong en cepet, ngga’ usah mematung kayak gitu. pumpung kang run belum berubah pikiran ni.” Juni angkat bicara.
”sekarang kita ke rumah hola dulu ya???”
Kami bertiga berjalan beriringan. Disepanjang jalan kami hanyut dalam bayang masing-masing. Acara ini memang telah kami rencanakan sejak lama, namun baru kali ini bisa kesampaian berkat partisipasi hola. Meskipun cuaca tak berpihak, kami tetap akan merealisasikan rencana kami.
************
”aduh sorry za aku ngga’ bisa ikut ni, soalnya ibuku ngga ngijinin owk. Sorry za, lain kali aja dech kalau cuacanya mendukung??.”
Petir serasa menyambar telinga kami, mendengar perkataan hola. akhirnya kami pulang, Beriringan dengan gerimis yang mulai turun perlahan.
”wah padahal aku sudah beli makanan banyak banget eh malah ga’ jadi. Gimana sih???” hikmah mulai mengeluh.
”kita nekat berangkat aja gimana?” kata Juni meyakinkan.
”ha yang bener aja????? Kita ini kan ce nanti kalau ada yang nganggu kita gimana? kita butuh seorang lelaki yang mau menjaga kita. Ya ngga????” sahutku sok bijaksana.
”trus gimana? Masa’ mau balik lagi mau ditaruh mana mukaku?” Juni mulai mengeluh.
Suasana hening seketika. Hingga akhirnya muncul ide brilian dari mulut Juni.
”wah aku punya ide!!!! gimana kalau kita minta bantuan sama kakaknya hikmah aja. dia, sama doni cs kan sudah biasa kesana kalau malam minggu? Gimana? ”
Kali ini Yuni berhasil meyakinkan kami untuk mengikuti idenya. Sepupuku yang satu itu memang paling pandai merayu dan meyakinkan orang. Aku saja sampai bingung kenapa aku setuju dengan ide gilanya ini tanpa menghiraukan akibat yang akan menimpa setelahnya.
Tak perlu berjalan lama untuk sampai di rumah Doni. Karena Jarak antara Rumah Fitri dan Doni tak begitu jauh.
” eh itu mereka. Kita kesana yuk?” kata yuni berlari-lari kecil kearah 4 orang lelaki yang sedang duduk-duduk di teras rumah. Mereka hampir seumuran dengan kami. Hanya saja mereka lebih tua beberapa tahun. satu diantaranya memainkan gitar dan yang lainnya bernyanyi seirama. Mereka adalah Doni, Khomsin, Andi, dan juga Vario kakaknya hikmah.
”kamu aja ah yun yang ngomong, kamu kan sekelas dengan mereka? Aku nunggu disini.” aku memegang erat tangan hikmah agar dia sependapat denganku.
Senyum di bibir kami perlahan mulai pudar, serpihan-serpihan semangat yang dengan susah payah kami kumpulkan kembali mulai berserakan, hari ini mereka tidak berangkat, karena mendung sudah bergelayutan di langit, gerimis pun juga sudah mulai turun. kami sangat kecewa. Namun, beberapa langkah kami pergi, mereka mengubah keputusan mereka. Mereka mau ikut serta dalam perjalanan kami asalkan:
- mereka mendapat jatah makanan yang cukup.
- yang mengawal saat kami berangkat hanya andi dan khomsin karena vario dan Doni lewat jalan trobosan.
- semua biaya penginapan, dan makan mereka berempat kamilah yang menanggungnya.
”udahlah mereka itu sudah gedhe nggak usah dikhawatirin, mereka sudah terbiasa muncak!!” khomsin terus meyakinkan kami,
”nanti mereka akan nunggu kita di perumasan” lanjutnya.
”kan mereka berangkatnya nanti kok bisa mereka yang nunggu kita di perumasan, bukannya kebalik ya?” kata hikmah
”mereka itu lewat jalan terobosan jadi cepet sampai.”
”kok kita ngga’ diajak sih”
”berbahaya!!! So’alnya kalau gerimis jalannya sangat licin ”
Perasaanku kini sangat tak karuan. Antara rasa senang- hal yang sangat kuinginkan akhirnya dapat kudapatkan lagi untuk yang kedua kalinya -rasa cemas dan rasa takut yang bercampur menjadi satu. Dan lagi, aku merasa bersalah ikut dalam perjalanan ini tanpa mengantongi ijin dari orangtuaku ataupun kakakku. Hal itu sangat mengganggu perjalannanku. aku sering sekali hampir terjatuh gara-gara tidak konsen melewati jalanan yang berbatu.
*******************
Adzan manghrib di kumandangkan dari microphon masjid Medini.
kami terus melanjutkan perjalanan.
”kalian ngga’ bawa senter za??? Bareng kami aja.” salah satu dari rombongan pendaki gunung mengajak kami, mengarahkan senter yang dibawanya persis kemukaku. Refleks aku menundukkan wajahku.
”iya, jalannya licin banget lho nanti kalian bisa terpeleset kalau tetap memaksakan diri berjalan di tengah kegelapan.” kata salah satu yang lain meyakinkan
”tidak usah, terimakasih. Kami sudah terbiasa kok jadi nggak apa-apa. lagi pula kami sedang menunggu teman kami.” kata Khomsin.
”oh gitu?? Ya udah kami duluan ya??”
Mereka pergi meninggalkan kami di tengah kegelapan. Cahaya senter mereka semakin lama semakin meremang, hingga hilang sama sekali ditelan kegelapan. Kami berjalan berurutan melewati jalan setapak dengan pencahayaan seadanya.
”eh kira-kira vario ’n doni udah sampai pa belom za?”aku mencoba untuk memancing pembicaraan.
Bukannya menyahut Tiba-tiba khomsin malah mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi, sambil memperhatikannya dengan seksama seolah jawaban dari pertanyaanku ada dibalik telapak tangannya itu. Karena penasaran kami mendekat.
”tenang aja, mereka sudah sampai di perumasan kok”
”sok tahu!!!”
”terserah!!!! Kalian mau percaya atau tidak aku tidak peduli.yang penting pertanyaan kalian sudah aku jawab khan??”
Kami bertiga terlibat obrolan yang panjang. Sesekali terdengar tawa keras kami. Sementara Andi dan khomsin hanya diam, mereka bicara hanya saat ditanya saja. itupun dengan jawaban yang sangat singkat.
Setelah melewati teh-tehan yang cukup luas, aku bisa melihat jalan utama.
”wah akhirnya sampai juga di jalan, sedikit lagi kita sampai perumasan.” Kata khomsin.
Perkataannya sedikit mengurangi rasa lelah kami Yang sedari tadi terus berjalan tak kenal istirahat. Khomsin memperlambat langkahnya, sehingga kami yang berada dibelakangnya saling bertubrukan karena dia berhenti tiba-tiba.
”aduh!!!! Kalau mau berhenti bilang-bilang dong!!!” aku memakinya keras-keras. Aku tak bisa terima, aku menubruknya ditambah lagi yuni dan hikmah dibelakang semakin mendesakku kuat-kuat. Tawa kami terhenti begitu saja karena kejadian khomsin yang berhenti mendadak itu.
”heh kalian!!!! Jangan berisik” dia menoleh kearah kami
”emang kenapa sih suka-suka kami dong!!! Mulut-mulut kami!! Kenapa kamu yang sewot??” kata juni
”aku sih terserah kalau kalian mau ngomong sampai suara kalian habis, tapi jangan sekarang. Jangan disini. Disini kalian nggak boleh mengeluarkan suara sedikitpun, pokoknya diam sajalah, ngga’ usah kebanyakan ngomong” kata khomsin.
”emangnya kenapa sih?” aku masih sangat penasaran.
”pokoknya diem!!! Ayo jalan.”
Kali ini khomsin berjalan perlahan-lahan, tidak seperti tadi. Memasuki jalan utama kami berjalan bebarengan. Kata-kata khomsin tadi membuat kami sangat ketakutan. Nada bicaranya berbeda dari biasanya.
”jalannya cepet dikit kenapa sih???” andi mulai tidak sabar dengan langkah kami yang sangat perlahan.
”kalau pengen cepet sana duluan!” kata khomsin datar.
”lho ngga bisa gitu dong kita kan berangkatnya bareng-bareng!!!”
”kenapa? Lo takut?”
”siapa yang takut!!!”
Andi mempercepat langkahnya meninggalkan kami. menuruni jalan. Dan berlari kencang begitu melewati tanjakan. Dari tempat kami berdiri sekarang terlihat sangat jelas Andi berlari. Bayang-bayang Andi baru hilang dibalik belokan tajam setelah tanjakan di depan.
”inget lho!!! Kalian ngga’ boleh bersuara!!! Kalian lihat sendiri kan gimana Andi sampai lari. Aku tahu kalau Sebenarnya dia sangat ketakutan, namun karena gengsi dia nggak mau ngaku.” khomsin kembali mengingatkan.
Langkah kami semakin lama semakin berat begitu menyusuri jalanan yang menanjak. Bau yang sangat harum seperti parfum menyegat indera pembau kami, Ditambah lagi belaian angin yang semakin lama semakin dingin. Kami sama sekali tak menghiraukannya, kami masih tetap bercerita panjang lebar dan sesekali tertawa terbahak-bahak saat ada yang lucu.
”heh kalian nyium bau wangi khan?” khomsin berbisik pada kami.
”iya, emangnya kenapa sih, biasa aja kali?” aku juga ikut berbisik pada khomsin yang berada tepat disamping kananku.
”ini bau parfumnya kupu-kupu malam?” dia masih berbisik
”ha?? Kupu-kupu malam? Disini?” suasana tiba-tiba hening. Yuni semakin memeluk tanganku erat. Hikmah berusaha menerjang pertahanan Yuni namun tetap tak bisa. Ia masih berada tepat dibelakangku.
”iya, mereka biasanya emang mangkal disini.”
”ha kok bisa??? Di tempat sepi dan gelap seperti ini? Ih kayak ngga’ ada tempat lain aja.!!!!” aku bergidik.
”sssssstttttt!!!!!! Jangan keras-keras!!!???”
”kalian ini susah banget sih diatur, disuruh diem ngga’ mau, dinasehatin malah ngejek.” khomsin masih berbisik, namun aku tahu nada bicaranya begitu keras padaku meskipun dia hanya berbisik.
”emang kenapa sih?”
”biasanya dia ngikuti orang-orang yang berusaha menyainginya, dia itu sombong tak mau disaingi.” khomsin semakin mengecilkan volume suaranya.
Aku tak mempercayai kata-katanya barusan. Aku yakin dia Cuma ingin menakut-nakutiku. ’ tidak akan mempan !!’ bisikku dalam hati meyakinkan diri.
Suasana hening. Tak ada suara kodok yang mengorek apalagi jangkrik. Suasana benar-benar hening, yang terdengar hanya suara hembusan nafas kami dan jantung-jnatung di balik dada kami ynag terus berdetak kencang.
Aku merasa angin membelai tubuhku sangat erat, membuat bulu-bulu kudukku berdiri, dingin yang luar biasa menjalar keseluruh tubuhku. Sementara itu, Hikmah mencengkram pundakku dengan salah satu tangannya yang besar dan kuat. Tak mau kalah, Juni juga semakin mendekap tanganku erat-erat. Sedangkan Khomsin, seperti biasa tak tampak ada rasa takut padanya, ia berada satu meter dikananku.
Tanjakan tak begitu tinggi, namun semakin berjalan serasa makin jauh untuk bisa sampai ke ujungnya. Waktu yang kelelahan berputar perlahan mengiri perjalanan kami. Aku merasakannya, dan aku yakin itu. wangi-wangian itu seperti parfum yang makin lama makin kuat menusuk-nusuk indra pembauku, membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ketakutan mulai menguasaiku dan kurasa juga Juni dan Hikmah. Aku sampai tak berani membuka mataku. Sesosok bayangan berjalan dengan cepat tepat didepanku. Sepertinya itu adalah sosok perempuan. karena aku samar-samar melihat rambut panjangnya terurai. Aku yakin harga parfumnya mahal sekali, karena semakin ia jauh baunya semakin menyengat. Jarak antara kami tak begitu dekat namun aku yakin dia ada didepanku. Langkahnya terhenti. Dan saat itu juga Jantungku berdegup kencang sekali. Namun, bayangan itu hilang di balik belokan tajam.
”enka!!! Sudah sampai.” juni mengguncangkan tanganku.
Kepalaku terasa berat dan pening. namun Aku memberanikan diri membuka mata. Didepanku berdiri sebuah rumah luas yang dinding-dindingnya terbuat dari papan bercat putih. aku menoleh ke sekeliling. Gelap, namun aku samar-samar melihat rumah-rumah kayu yang bentuknya hampir sama dengan rumah yang ada di depanku. Aku sangat lega, ternyata dia wanita itu hanya ada dalam bayang-bayangku saja.
”siapin uang seribu za siapa tahu masuknya bayar!!” perintah Sin.
Dia berjalan terlebih dahulu memasuki salah satu rumah di sana. Rumah pertama yang kami jumpai. Kami bertiga berjalan mengikutinya. Begitu masuk kami disambut Vario dan Doni yang sedang menghangatkan diri di perapian sembari menyeruput minuman hangat mereka sesekali. Dipojok ruangan ada tempat tidur panjang beralaskan tikar yang membuatku sangat tidak nyaman. Bukan karena keadaannya tetapi karena disana lelaki maupun perempuan tidur bersebelahan di atas satu tempat tidur.
”enka kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali?”
”aku ngga’ apa-apa kok, Cuma sedikit kedinginnan”
”oh syukur deh kalau gitu......... eh ya aku sudah pesen kamar kok buat kita semua. Jadi jangan khawatir kita tidak akan berdesak-desakan dengan mereka.” khomsin memandang kearah tempat tidur.
Aku masih heran dengan perkataan khomsin barusan. Bagaimana dia bisa tahu apa yang aku pikirkan?
Kami berlima segera bergabung bersama doni dan juga Vario menghangatkan diri di depan perapian. kepalaku semakin pusing, seolah ada sesuatu benda yang sangat besar mengganjal di kepalaku. Aku bisa melihat Dinding-dinding papan berputar-putar mengelilingiku. Lamat-lamat kudengar suara teman-teman di sekitarku, semakin lama semakin menghilang. Hingga semuanya menjadi sunyi dan hampa!!!! Sesosok bayangan itu muncul lagi dihadapanku, namun kali ini semakin mendekatiku, semakin dekat, semakin dekat hingga aku dapat merasakan nafasnya yang sangat semerbak. Perlahan dia menyibakkan rambutnya.
*******************************
”AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
Dengan nafas terengah-engah aku melihat sekeliling. Tempat ini tak asing. Ada apa denganku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar