PENDEKATAN
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD
Pendekatan
Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa
Whole language adalah
suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham constructivism.
Dalam whole language bahasa diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah;
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated)
sehingga siswa dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan.
Dalam menerapkan whole
language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar
pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. Komponen whole language adalah
reading aloud, jurnal writing, sustain silent reading, shared reading, guided
reading, guided writing, independent reading, dan independent writing.
Kelas yang menerapkan whole
language merupakan kelas yang kaya dengan barang cetak, seperti buku, majalah,
koran, dan buku petunjuk. Di samping itu, kelas whole language dibagi-bagi
dalam sudut-sudut yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan secara individual
di sudut-sudut tersebut.
Selanjutnya, kelas
whole language menerapkan penilaian yang menggunakan portofolio dan penilaian
informal melalui pengamatan selama pembelajaran berlangsung
Pendekatan
Keterampilan Proses dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pendekatan keterampilan
proses dalam pembelajaran bahasa adalah pendekatan yang memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan kreatif dalam
proses pemerolehan bahasa. Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan dalam
proses belajar-mengajar yang sesuai dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pendekatan ini memberikan pengetahuan, pengalaman, serta
keterampilan yang cocok untuk memperoleh serta mengembangkan kompetensi bahasa
yang kita pelajari, dalam hal ini bahasa Indonesia.
Fokus pembelajarannya
tidak hanya pada pencapaian tujuan pembelajaran saja, melainkan juga pada
pemberian pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan
keterampilan proses dilaksanakan dengan pengaturan kelas, baik secara fisik
maupun nonfisik. Pengaturan dilakukan sedemikian rupa agar siswa mempunyai
keleluasaan gerak, merasa aman, bergembira, bersemangat, dan bergairah untuk
belajar. Dengan kondisi yang demikian, materi yang diberikan kepada siswa akan
mencapai hasil yang maksimal.
Sementara itu, beberapa aspek yang
dibahas dalam KB 2 ini mencakup tiga hal penting, yakni Hakikat Pendekatan
Keterampilan Proses, Prinsip-prinsip Pendekatan Keterampilan Proses, dan Strategi
Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Keterampilan Proses. Ketiga hal
tersebut dipaparkan berdasarkan gambaran dasar yang terdapat dalam pendekatan
keterampilan proses.
Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat
kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengembangkan
prosedur-prosedur bagi empat keterampilan berbahasa, yang mencakup menyimak,
membaca, menulis, dan berbicara dan mengakui saling ketergantungan bahasa dan
komunikasi, dan bahasa yang dimaksud dalam konteks ini tentu saja bahasa
Indonesia. Beberapa hal yang berkait langsung dengan konsep ini adalah latar
belakang munculnya pendekatan komunikatif, ciri-ciri utama pendekatan
komunikatif, aspek-aspek yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif, dan
penerapan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Munculnya pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari adanya perubahan-perubahan
dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an, yang saat itu
menggunakan pendekatan situasional. Dalam pembelajaran bahasa secara
situasional, bahasa diajarkan dengan cara mempraktikkan/melatihkan
struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan situasi yang
bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori
linguistik yang mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada
pertengahan tahun 1960-an dan para pakar linguistik terapan Inggris pun mulai
mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran bahasa situasional.
Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar gagasan
yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa
situasional. Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai
bahasa itu sendiri dan kembali kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan
mengandung makna dalam dirinya dan mengekspresikan makna serta maksud-maksud
pembicara dan penulis yang menciptakannya.
Dalam prosedur
pembelajaran pendekatan komunikatif, terdapat beberapa garis besar pembelajaran
yang harus diperhatikan yakni Penyajian Dialog Singkat, Pelatihan Lisan Dialog
yang Disajikan, Penyajian Tanya-Jawab, Penelaahan dan Pengkajian, Penarikan
Simpulan, Aktivitas Interpretatif, Aktivitas Produksi Lisan, Pemberian Tugas,
dan Pelaksanaan Evaluasi.
Sementara itu, beberapa
aspek yang harus diperhatikan kaitannya dengan pendekatan komunikatif adalah
teori bahasa, teori belajar, tujuan, silabus, tipe kegiatan, peranan guru,
peranan siswa, dan peranan materi. Adapun dalam penerapan pendekatan
komunikatif ini, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni tujuan
pembelajarannya dan GBPP yang digunakan. Adapun yang termasuk dalam strategi pembelajaran
bahasa Indonesia berdasarkan pendekatan komunikatif adalah pengorganisasian
kelas serta metode dan teknik Belajar Mengajar.
Pendekatan
Tematik Dalam Pembelajaran Sd
Konsep pembelajaran
tematik adalah merupakan pengembangan dari pemikiran dua orang tokoh pendidikan
yakni Jacob tahun 1989 dengan konsep pembelajaran interdisipliner dan Fogarty
pada tahun 1991 dengan konsep pembelajaran terpadu. Pembelajaran tematik merupan suatu pendekatan dalam pembelajaran
yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra
mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu
peserta didik akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga
pembelajaran jadi bermakna bagi peserta didik.
Bermakna disini
memberikan arti bahwa pada pembelajaran tematik peserta didik akan dapat
memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman lansung dan
nyata yang menghubungkan antar konsep-konsep dalam intra maupun antar mata
pelajaran. Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, maka pembelajaran
tematik tampak lebih menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam proses
pembelajaran, sehingga peserta didik aktif terlibat dalam proses pembelajaran
untuk pembuatan keputusan.
BNSP (2006:35)
menyatakan bahwa pengalaman belajar peserta didik menempati posisi penting
dalam usaha meningkatkan kualitas lulusan. Untuk itu pendidik dituntut harus
mamapu merancang dan melaksanakan pengalaman belajar dengan tepat. Setiap
peserta didik memerlukan bekal pengetahuan dan kecakapan agar dapat hidup
dimasyarakat, dan bekal ini diharapkan diperoleh melalui pengalaman belajar
disekolah. Oleh sebab itu pengalam belajar di sekolah sedapat mungkin
memberikan bekal bagi peserta didik dalam mencapai kecakapan untuk berkarya.
Kecakapan ini disebut dengan kecapan hidup yang cakupannya lebih luas dibanding
hanya sekedar keterampilan.
Pembelajaran tematik
adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tama tertentu, dalam
pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh,
tema ”Air” dapat ditinjau dari mata pelajaran fisika, kimia, biologi dan
matematik. Lebih luas lagi, tema itu dapat ditinjau dari bidang studi lain,
seperti IPS, bahasa, agama dan seni. Pembelajaran tematik menyediakan keluasan
dan kedalaman implementasi kurikulum, menawarkan kesempatan yang sangat banyak
pada peserta didik untuk memunculkan dinamika dalam proses pembelajaran. Unit
yang tematik adalah epitome dari seluruh bahasa pembelajaran yang memfasilitasi
peserta didik untuk secara produktif menjawab pertanyaan yang dimunculkan
sendiri dan memuaskan rasa ingin tahu dengan pengahayatan secara alamiah tetang
dunia di sekitar mereka.
Karakteristik
Pendekatan Tematik
Sebagai suatu proses,
pembelajaran tematik memiliki karakteristik sebagai berikut :
Pembelajaran berpusat pada peserta
didik.
Pembelajaran tematik
dikatakan sebagai pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, karena pada
dasarnya pembelajaran tematik merupakan suatu sistem pembelajaran yang
memberikan keleluasan pada peserta didik baik secara individu maupun kelompok.
Peserta didik dapat aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta
prinsip-prinsip dari suatu pengetahuan yang harus dikuasainya sesuai dengan
perkembangannya.
Menekankan pembentukan
pemahaman dan kebermaknaan.
Pembelajaran tematik
mengkaji suatu fenomena dari berbagai macam aspek yang membentuk semacam
jalinan antar skemata yang dimiliki peserta didik, sehingga akan berdampak pada
kebermaknaan dari materi yang dipelajari peserta didik. Hasil yang nyata didapat
dari segala konsep yang diperoleh dan keterkaitannya dengan konsep-konsep lain
yang di pelajari dan mengakibatkan kegiatan belajar lebih bermakna. Hal ini
diharapkan akan berakibat kepada kemampuan peserta didik untuk dapat menerapkan
perolehan belajarnya pada pemecahan masalah-masalah yang nyata dalam
kehidupannya.
Belajar melalui
pengalaman lansung.
Pada pembelajaran
tematik diprogramkan untuk melibatkan peserta didik secara lansung pada konsep
dan prinsip yang dipelajari dan memungkinkan peserta didik belajar dengan
melakukan kegiatan secara lansung. Sehingga peserta didik akan memahmi hasil
belajarnya sesuai dengan fakta dan peristiwa yang mereka alami, bukan sekadar
informasi dari guru. Pendidik lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dan
katalisator yang membimbing kearah tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan peserta
didik sebagai actor pencari fakta dan informasi untuk mengembangkan
pengetahuannya.
Lebih memperhatikan
proses dari hasil semata.
Pada pembelajaran
tematik dikembangkan pendekatan discoveri inquiry (penemuan terbimbing) yang
melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran yaitu mulai
dari perencanaan, pelaksanaan sampai proses evaluasi. Pembelajaran tematik
dilaksanakan dengan melibatkan hasrat, minat, dan kemampuan peserta didik,
sehingga dimungkinkan peserta didik
termotivasi untuk belajar terus menerus.
Sarat dengan muatan
keterkaitan.
Pembelajaran tematik
memusatkan perhatian pada pengamatan dan pengkajian suatu gejala atau peristiwa
dari beberapa mata pelajaran sekaligus, tidak dari sudut pandang yang
terkotak-kotak. Sehingga dimungkinkan peserta didik untuk memahami suatu
fenomena pembelajaran dari segala sisi, yang pada gilirannya nanti akan membuat
peserta didik lebih arif dan bijak dalam menyikapi atau menghadapi kejadian
yang ada.
PEMBELAJARAN MEMBACA
PERMULAAN MELALUI PERMAINAN
BAHASA DI KELAS AWAL
SEKOLAH DASAR
Sri Nuryati
Abstrak: Membaca permulaan merupakan
tahapan proses belajar membaca bagi siswa sekolah dasar kelas awal. Siswa
belajar untuk memperoleh kemampuan dan menguasai teknik-teknik membaca dan
menangkap isi bacaan dengan baik. oLeh karena itu guru perlu merancang
pembelajaran membaca dengan baik sehingga mampu menumbuhkan kebiasan membaca
sebagai suatu yang menyenangkan. Suasana belajar harus dapat diciptakan melalui
kegiatan permainan bahasa dalam pembelajaran membaca. Hal itu sesuai dengan
karakteristik anak yang masih senang bermain. Permainan memiliki peran penting
dalam perkembangan kognitif dan sosial anak.
Kata kunci: Membaca permulaan,
permainan, sekolah dasar.Membaca merupakan salah satu ketrampilan berbahasa
yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Keempat
aspek tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) ketrampilan yang
bersifat menerima (reseptif) yang meliputi ketrampilan membaca dan menyimak,
(2) ketrampilan yang bersifat mengungkap (produktif) yang meliputi ketrampilan
menulis dan berbicara (Muchlisoh, 1992: 119).
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) bertujuan meningkatkan
kemampuan siswa berkomunikasi secara efektif, baik lisan maupun tertulis.
Ketrampilan membaca sebagai salah satu ketrampilan berbahasa tulis yang
bersifat reseptif perlu dimiliki siswa SD agar mampu berkomunikasi secara tertulis.
oLeh karena itu, peranan pengajaran Bahasa Indonesia khususnya pengajaran
membaca di SD menjadi sangat penting. Peran tersebut semakin penting bila
dikaitkan dengan tuntutan pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi (Joni,
1990). Pengajaran Bahasa Indonesia di SD yang bertumpu pada kemampuan dasar
membaca dan menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahirwacanaan.
Ketrampilan membaca dan menulis, khususnya ketrampilan membaca harus
segera dikuasai oleh para siswa di SD karena ketrampilan ini secara langsung
berkaitan dengan seluruh proses belajar siswa di SD. Keberhasilan belajar siswa
dalam mengikuti proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah sangat ditentukan
oleh penguasaan kemampuan membaca mereka. Siswa yang tidak mampu membaca dengan
baik akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran untuk semua
mata pelajaran. Siswa akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami
informasi yang disajikan dalam berbagai buku pelajaran, buku-buku bahan
penunjang dan sumber-sumber belajar tertulis yang lain. Akibatnya, kemajuan
belajarnya juga lamban jika dibandingkan dengan teman-temannya yang tidak
mengalami kesulitan dalam membaca.
Menurut pandangan “whole language” membaca tidak diajarkan
sebagai suatu pokok bahasan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu
kesatuan dalam pembelajaran bahasa bersama dengan ketrampilan berbahasa yang
lain.Kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses pembelajaran bahasa, ketrampilan
berbahasa tertentu dapat dikaitkan dengan ketrampilan berbahasa yang lain. Pengaitan
ketrampilan berbahasa yang dimaksud tidak selalu melibatkan keempat ketrampilan
berbahsa sekaligus, melainkan dapat hanya mengakut dua ketrampilan saja
sepanjang aktivitas berbahasa yang dilakukan bermakna.
Pembelajaran membaca di SD dilaksanakan sesuai dengan pembedaan atas
kelas-kelas awal dan kelas-kelas tinggi. Pelajaran membaca dan menulis di kelas-kelas
awal disebut pelajaran membaca dan menulis permulaan, sedangkan dikelas-kelas
tinggi disebut pelajaran membaca dan menulis lanjut. Pelaksanaan membaca
permulaan di kelas I sekolah dasar dilakukan dalam dua tahap, yaitu membaca
periode tanpa buku dan membaca dengan menggunakan buku. Pembelajaran membaca
tanpa buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat
peraga selain buku misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu
kalimat, sedangkan membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan
menggunakan buku sebagai bahan pelajaran.
Tujuan membaca permulaan di kelas I adalah agar “Siswa dapat membaca
kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat (Depdikbud,
1994/1995:4). Kelancaran dan ketepatan anak membaca pada tahap belajar membaca permulaan
dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di kelas I.
Dengan kata lain, guru memegang peranan yang strategis dalam meningkatkan ketrampilan
membaca siswa. Peranan strategis tersebut menyangkut peran guru sebagai
fasilitator, motivator, sumber belajar, dan organisator dalam proses pembelajaran.
guru yang berkompetensi tinggi akan sanggup menyelenggarakan tugas untuk
mencerdaskan bangsa, mengembangkan pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan membentuk
ilmuwan dan tenaga ahli.
Menurut Badudu (1993: 131) pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia
di SD – SMU ialah guru terlalu banyak menyuapi, tetapi kurang menyuruh siswa aktif
membaca, menyimak, menulis dan berbicara. Proses belajar-mengajar dikelas tidak
relevan dengan yang diharapkan, akibatnya kemampuan membaca siswa rendah. Untuk
mengoptimalkan pembelajaran membaca permulaan di SD salah satu alternatif yang
dapat dilakukan ialah melalui permainan bahasa.
Guru perlu menyediakan bahan yang menarik yang dapat menyajikan
tantangan bagisiswa untuk giat secara aktif dan kreatif “mengotak-atik” apa
yang dihadapinya. Bahan tersebut hasrulah sesuai dengan perkembangan emosi dan
sosial anak. Anak di kelas permulaan (usia 6 - 8 tahun) berada pada fase
bermain. Dengan bermain anak akan senang belajar, semakin senang anak semakin
banyak yang diperolehnya. Permainan memiliki peranan penting dalam perkembangan
kognitif dan sosial anak (Dworetzky, 1990). Karena dalam bermain guru mendukung
anak belajar dan mengembangkannya (Wood, 1996).
a. Hakikat Membaca
Membaca adalah proses aktif dari pikiran yang dilakukan melalui mata
terhadap bacaan. Dalam kegiatan membaca, pembaca memroses informasi dari teks
yang dibaca untuk memperoleh makna (Vacca, 1991: 172). Membaca merupakan
kegiatan yang penting dalam kehidupan sehari-hari, karena membaca tidak hanya
untuk memperoleh informasi, tetapi berfungsi sebagai alat untuk memperluas
pengetahuan bahasa seseorang. Dengan demikian, anak sejak kelas awal SD perlu
memperoleh latihan membaca dengan baik khususnya membaca permulaan.
Para ahli telah
mendefiniskan tentang membaca dan tidak ada criteria tertentu untuk menentukan
suatu definisi yang dianggap paling benar. Menurut Harris dan Sipay (1980: 8)
memebaca sebagai suatu kegiatan yang memebrikan respon makna secara tepat
terhadap lambang verbal yang tercetak atau tertulis.Pemahaman atau makna dalam
membaca lahir dari interaksi antara persepsi terhadap simbol grafis dan
ketrampilan bahasa serta pengetahuan pembaca. Dalam interaksi ini, pembaca
berusaha menciptakan kembali makna sebagaimana makna yang ingin disampikan oleh
penulis dan tulisannya. Dalam proses membaca itu pembaca mencoba mengkreasikan
apa yang dimaksud oleh penulis.
Dilain pihak, Gibbon (1993: 70-71) mendefinisikan membaca sebagai proses
memperoleh m,akna dari cetakan. Kegiatan membaca bukan sekedar aktivitas yang
bersifat pasif dan reseptfi saja, melainkan mengehdaki pembaca untuk aktif
berpikir.Untuk memperoleh makna dari teks, pembaca harus menyertakan latar
belakang “bidang” pengetahuannya, topik, dan pemahaman terhadap sistem bahasa
itu sendiri. Tanpa hal-hal tersebut selembar teks tidak berarti apa-apa bagi
pembaca.
Dalam kegiatan membaca terjadi proses pengolahan informasi yang
terdiri atas informasi visual dan informasi nonvisual (Smith, 1985: 12).
Informasi visual, merupakan informasi yang dapat diperoleh melalui indera
penglihatan, sedangkan informasi nonvisual merupakan informasi yang sudah ada
dalam benak pembaca.Karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda
dan dia menggunakan pengalaman itu untuk menafsirkan informasi visual dalam
bacaan,maka isi bacaan itu akan berubah-ubah sesuai dengan pengalamn
penafsirannya(Anderson, 1972: 211).
Pembaca yang telah lancar
pada umumnya meramalkan apa yang dibacanya dan kemudian menguatkan atau menolak
ramalannya itu berdasarkan apa yang terdapat dalam bacaan. Permaalan dibuat
berdasarkan pada tiga kategori sistem yaitu aspek sistematis, sintaksis dan
grafologis. Menurut Wilson dan peters (dalam Cleary, 1993: 284) bahwa membaca
merupakan suatu proses menysun makna melalui interaksi dinamis diantara
pengetahuan pembaca yang telah ada, informasi yang telah dinyatakan oleh bahasa
tulis, dan konteks situasi pembaca.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa membaca adalah
proses interaksi antara pembaca dengan teks bacaan. Pembaca berusaha memahami
isi bacaan berdasarkan latar belakang pengetahuan dan kompetensi
kebahasaannya.Dalam proses pemahaman bacaan tersebut, pembaca pada umumnya
membuat ramalan-ramalan berdasarkan sistem semantik, sintaksis, grafologis, dan
konteks situasi yang kemudian diperkuat atau ditolak sesuai dengan isi bacaan
yang diperoleh.
b. Pengertian Membaca
Permulaan
Membaca permulaan dalam pengertian ini adalah membaca permulaan dalam
teori ketrampilan, maksudnya menekankan pada proses penyandian membaca secara
mekanikal. Membaca permulaan yang menjadi acuan adalah membaca merupakan proses
recoding dan decoding (Anderson, 1972: 209).Membaca merupakan
suatu proses yang bersifat fisik dan psikologis. Proses yang bersifat fisik
berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual. Dengan indera visual, pembaca
mengenali dan membedakan gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Melalui proses
recoding, pembaca mengasosiasikan gambargambar bunyi beserta
kombinasinya itu dengan bunyi-bunyinya. Dengan proses tersebut, rangkaian
tulisan yang dibacanya menjelma menjadi rangkaian bunyi bahasa dalam kombinasi
kata, kelompok kata, dan kalimat yang bermakna.
Disamping itu, pembaca mengamati tanda-tanda baca untuk mrmbantu
memahami maksud baris-baris tulisan. Proses psikologis berupa kegiatan berpikir
dalam
mengolah informasi. Melalui proses decoding, gambar-gambar
bunyi dan kombinasinya diidentifikasi, diuraikan kemudian diberi makna. Proses
ini melibatkan knowledge of the world dalam skemata yang berupa
kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam gudang
ingatan (Syafi’ie, 1999: 7).
Menurut La Barge dan Samuels (dalam Downing and Leong, 1982: 206) proses
membaca permulaan melibatkan tiga komponen, yaitu (a) visual memory (vm), (b)
phonological memory (pm), dan (c) semantic memory (sm). Lambang lambang fonem
tersebut adalah kata, dan kata dibentuk menjadi kalimat. Proses pembentukan
tersebut terjadi pada ketiganya. Pada tingkat VM, huruf, kata dan kalimat
terlihat sebagai lambang grafis, sedangkan pada tingkat PM terjadi proses pembunyian
lambang. Lambang tersebut juga dalam bentuk kata, dan kalimat.
Proses pada tingkat ini bersumber dari VM dan PM. Akhirnya pada
tingkat SM
terjadi proses pemahaman terhadap kata dan kalimat. Selanjutnya
dikemukakan bahwa untuk memperoleh kemampuan membaca diperlukan tiga syarat,
yaitu kemampuan membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk
memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Pada tingkatan
membaca permulaan, pembaca belum memiliki ketrampilan kemampuan membaca yang
sesungguhnya, tetapi masih dalam tahap belajar untuk memperoleh ketrampilan /
kemampuan membaca.
Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar mengenal
bahasa tulis. Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan
lambang-lambang bunyi bahasa tersebut,untuk memperoleh kemampuan membaca
diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a) lambang-lambang tulis,
(b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam
kemahiran bahasa.Membaca permulaan merupakan suatu proses ketrampilan dan
kognitif. Proses ketrampilan menunjuk pada pengenalan dan penguasaan
lambang-lambang fonem, sedangkan proses kognitif menunjuk pada penggunaan
lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau
kalimat.
c.Pembelajaran Membaca
Permulaan
Pembelajaran memabaca permulaan diberikan di kelas I dan II.
Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan
dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut (Akhadiah,
1991/1992: 31). Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses
pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi visual
bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca (learning
to read). Membaca lanjut merupakan tingkatan proses penguasaan membaca
untuk memperoleh isi pesan yang terkandung dalam tulisan.Tingkatan ini disebut
sebagai membaca untuk belajar (reading to learn). Kedua tingkatan
tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca permulaan yang fokus
kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula pembelajaran membaca
lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian juga pada membaca lanjut
menekankan pada pemahaman isi bacaan, masih perlu perbaikan dan penyempurnaan
penguasaan teknik membaca permulaan (Syafi’ie,1999: 16).
d.Pengertian Permainan
Permainan merupakan alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang
tidak dikenali sampai pada yang diketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya
sampai mampu melakukannya. Bermain bagi anak memiliki nilai dan ciri yang
penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari. Pada permulaan
setiap pengalaman bermain memiliki resiko. Ada resiko bagi anak untuk belajar misalnya
naik sepeda sendiri, belajar meloncat. Unsur lain adalah pengulangan. Anak
mengkonsolidasikan ketrampilannya yang harus diwujudkannya dalam berbagai
permainan dengan nuansa yang berbeda. Dengan cara ini anak memperoleh
pengalaman tambahan untuk melakukan aktivitas lain. Melalui permainan anak
dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran misalnya
bermain boneka diumpamakan sebagai adik yang sesungguhnya (Semiawan, 2002: 21).
Berkaitan dengan permainan Pellegrini dan Saracho, 1991 (dalam
Wood,1996:3) permainan memiliki sifat sebagai berikut: (1) Permaianan
dimotivasi secara personal, karena memberi rasa kepuasan. (2) pemain lebih
asyik dengan aktivitas permainan (sifatnya spontan) ketimbang pada tujuannya.
(3) Aktivitas permainan dapat bersifat nonliteral. (4) Permainan bersifat bebas
dari aturan aturan yang dipaksakan dari luar, dan aturan-aturan yang ada dapat
dimotivasi oleh para pemainnya. (5) Permainan memerlukan keterlibatan aktif
dari pihak pemainnya.
Menurut Framberg (dalam Berky, 1995) permainan merupakan aktivitas yang
bersifat simbolik, yang menghadirkan kembali realitas dalam bentukpengandaian
misalnya, bagaimana jika, atau apakah jika yang penuh makna. Dalam hal ini
permainan dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau
mengasyikkan, bahkan ketika siswa terlibat dalam permainan secara serius dan
menegangkan sifat sukarela dan motivasi datang dari dalam diri siswa sendiri
secara spontan. Menurut Hidayat (1980:5) permainan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) adanya seperangkat peraturan yang eksplisit yang mesti diindahkan
oleh para pemain, (2) adanya tujuan yang harus dicapai pemain atau tugas yang
mesti dilaksanakan.
e. Permainan Bahasa
Permainan bahasa merupakan perminan untuk memperoleh kesenangan dan
untuk melatih ketrampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis).
Apabila suatu permainan menimbulkan kesenangan tetapi tidak memperoleh
ketrampilan berbahasa tertentu, maka permainan tersebut bukan permainan bahasa.
Sebaliknya, apabila suatu kegiatan melatih ketrampilan bahasa tertentu, tetapi
tidak ada unsur kesenangan maka bukan disebut permainan bahasa. Dapat disebut
permainan bahasa, apabila suatu aktivitas tersebut mengandung kedua unsur
kesenangan dan melatih ketrampilan berbahasa (menyimak,berbicara, membaca dan
menulis).
Setiap permainan bahasa yang dilaksanakan dalam kegiatan
pembelajaran harus secara langsung dapat menunjang tercapainya tujuan
pembelajaran. Anak-anak pada usia 6 – 8 tahun masih memerlukan dunia permainan
untuk membantu menumbuhkan pemahaman terhadap diri mereka. Pada usia tersebut,
anak-anak mudah merasa jenuh belajar di kelas apabila dijauhkan dari dunianya
yaitu dunia bermain. Permainan hampir tak terpisahkan dengan kehidupan manusia.
Baik bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa semua membutuhkan permainan.
Tentunya dengan jenis dan sifat permainan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis
kelamin, bakat dan minat masing-masing.
Tujuan utama permainan bahasa bukan semata-mata untuk memperoleh
kesenangan, tetapi untuk belajar ketrampilan berbahasa tertentu
misalnya menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Aktivitas permainan digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara yang menyenangkan.
Menurut Dewey (dalam Polito, 1994) bahwa interaksi antara permainan dengan
pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar yang sangat penting bagi
anak-anak. Menang dan kalah bukan merupakan tujuan utama permainan. Dalam
setiap permainan terdapat unsur rintangan atau tantangan yang harus dihadapi.
Tantangan tersebut kadang-kadang berupa masalah yang harus diselesaikan atau
diatasi, kadang pula berupa kompetisi. Masalah yang harus
diselesaikan itulah yang dapat melatih ketrampilan berbahasa.Alat
permainan baik realistik maupun imajinatif, buatan pabrik maupun alamiah
memiliki peranan yang cukup besar dalam membantu merangsang anak dalam
menggunakan bahasa. Keberadaan alat-alat permainan dapat memabntu dan meningkatkan
daya imajinasi anak.
f. Pembelajaran Membaca
Melalui Permainan Bahasa
Belajar konstrultivisme mengisyaratkan bahwa guru tidak memompakan pengetahuan
ke dalam kepala pebelajar, melainkan pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog
yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi. Ini
berarti bahwa penekanan bukan pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar
siswa mampu menggunakan otaknya secara efektif dan efisien sehingga tidak
ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan oleh keterlibatan emosi dan
kemampuan kreatif. Dengan demikian proses belajar membaca perlu disesuaikan
dengan kebutuhan perkembangan siswa (Semiawan, 2002:5).
Dalam hal ini guru tidak hanya sekedar melaksanakan apa yang ada
dalam kurikulum, melainkan harus dapat menginterpretasi dan mengembangkan kurikulum
menjadi bentuk pembelajaran yang menarik. Pembelajaran dapat menarik apabila
guru memiliki kreativitas dengan memasukkan aktivitas permainan ke dalam
aktivtas belajar siswa. Penggunaan bentuk-bentuk permainan dalam pembelajaran
akan memberi iklim yang menyenangkan dalam proses belajar, sehingga siswa akan
belajar seolah-olah proses belajar siswa dilakukan tanpa adanya keterpaksaan,
tetapi justru belajar dengan rasa keharmonisan. Selain itu, dengan bermain
siswa dapat berbuat agak santai. Dengan cara santai tersebut, sel-sel otak
siswa dapat berkembang akhirnya siswa dapat menyerap informasi, dan memperoleh
kesan yang mendalam terhadap materi pelajaran. Materi pelajaran dapat disimpan
terus dalam ingatan jangka panjang (Rubin, 1993 dalam Rofi’uddin, 2003).
Permainan dapat menjadi kekuatan yang memberikan konteks pembelajaran
dan perkembangan masa kanak-kanak awal. Untuk itu perlu, diperhatikan struktur
dan isi kurikulum sehingga guru dapat membangun kerangka
pedagogis bagi permainan. Struktur kurikulum terdiri atas :
(1) Perencanaan yang mencakup penetapan sasaran dan tujuan,
(2) Pengorganisasian, dengan mempertimbangkan ruang, sumber, waktu
dan peran orang dewasa,
(3)Pelaksanaan, yang mencakup aktivitas dan perencanaan,
pembelajaran yang
diinginkan, dan
(4) assesmen dan evaluasi yang meliputi alur umpan balik pada perencanaan
(Wood, 1996:87).
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat melakukan
simulasi pembelajaran dengan menggunakan kartu berseri (flash card).
Kartu-kartu berseri tersebut dapat berupa kartu bergambar. Kartu huruf, kartu
kata, kartu kalimat. Dalam pembelajaran membaca permulaan guru dapat
menggunakan Strategi bermain dengan memanfaatkan kartu-kartu huruf. Kartu-kartu
huruf tersebut digunakan sebagai media dalam permainan menemukan kata. Siswa diajak
bermain dengan menyusun huruf-huruf menjadi sebuah kata yang berdasarkan
teka-teki atau soal-soal yang dibuat oleh guru. Titik berat latihan menyusun
huruf ini adalah ketrampilan mengeja suatu kata (Rose and Roe, 1990).
Dalam pembelajaran membaca teknis menurut Mackey (dalam
Rofi’uddin,2003:44) guru dapat menggunakan strategi permainan membaca, misalnya
cocokkan kartu, ucapkan kata itu, temukan kata itu, kontes ucapan,
temukan kalimat itu, baca dan berbuat dan sebagainya. Kartu-kartu kata maupun
kalimat digunakan sebagai media dalam permainan kontes ucapan. Para siswa diajak bermain dengan mengucapkan atau
melafalkan kata-kata yang tertulis pada kartu kata. Pelafalan kata-kata
tersebut dapat diperluas dalam bentuk pelafalan kalimat bahasa Indonesia.
Yang dipentingkan dalam latihan ini adalah melatih siswa mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa (vokal, konsonan, dialog, dan cluster) sesuai dengan daerah
artikulasinya (Hidayat dkk, 1980).
Untuk memilih dan menentukan jenis permainan dalam pembelajaran membaca
permulaan di kelas, guru perlu mempertimbangkan tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran dan kondisi siswa maupun sekolah. Dalam tujuan pembelajaran, guru
dapat mengembangkan salah satu aspek kognitif, psikomotor atau sosial atau
memadukan berbagai aspek tersebut. Guru juga perlu mempertimbangkan materi
pembelajaran, karena bentuk permainan tertentu cocok untuk materi tertentu.
Misalnya, untuk ketrampilan berbicara guru dapat menyediakan jenis permainan
dua boneka, karena dengan permainan ini dapat mendorong siswa berani tampil
secara ekspresif.
g. Permainan Kata
Permainan kata dan huruf dapat memberikan suatu situasi belajar yang
santai dan menyenagkan. Siswa dengan aktif dilibatkan dan dituntut untuk memberikan
tanggapan dan keputusan. Dalam memainkan suatu permainan, siswa dapat melihat
sejumlah kata berkali-kali, namun tidak dengan cara yang membosankan. Guru
perlu banyak memberikan sanjungan dan semangat. Hindari kesan bahwa siswa
melakukan kegagalan. Jika permainan sukar dilakukan oleh siswa, maka guru perlu
membantu agar siswa merasa senang dan berhasil dalam belajar.
1.Memilih Kata
Cara membuat
Pada kartu yang panjang ditempeli sebuah gambar sederhana. Di
samping
gambar ditulis suatu pilihan tiga kata, satu yang sesuai dengan
gambar dan dua
yang mirip dengan gambar. Pada punggung kartu warnai suatu ruang
untuk
menyatakan kata yang benar. Kemudian disediakan jepit kertas.
Cara Bermain
Dua orang siswa memutuskan kata mana yang sepadan dengan gambar,
kemudian menaruh jepit di samping kartu kata itu. Untuk mengecek baliklah
kartu.
2.Melengkapi Kalimat
Pada kartu yang panjang tertulis kalimat dengan satu kata hilang.
Pada kartu tersebut diberi celah untuk kata-kata yang hilang. Kemudian membuat
kartu gambar yang cocok dengan celah itu.
Cara membuat
Sebuah kalimat ditulis diatas kartu panjang dengan satu kata
dihilangkan.Pada kata yang dihilangkan tersebut dilubangi untuk menyelipkan
kartu yang cocok untuk melengkapi kalimat. Kemudian membuat kartu-kartu kata
yang salah satunya cocok untuk celah pada kartu kalimat.
Cara Bermain
Satu atau dua orang membaca kalimat dan mencocokkan kartu-kartu gambar
dalam spasi yang kosong. Kemudian siswa menyelipkan kartu kata yang cocok pada
celah kartu kalimat.
Batu Loncatan
Cara Membuat
Karton atau kertas digunting menjadi sejumlah bundaran. Pada
bundaran tersebut ditulis nama anggota keluarga atau teman-teman. Kertas dapat bermacam-macam
warna.
Cara Bermain
Guru melakukan suatu perintah, misalnya “Loncat ke Ayah”. Siswa
harus menemukan bundaran yang benar dan melompat disitu sambil menunggu
perintah selanjutnya. Dapat juga diubah menjadi sebuah permainan pembentukan
kalimat. Dengan memasukkan kata kerja dan bagian-bagian lain dari bahasa lisan.
Siswa harus melompat ke bundaran-bundaran itu dalam urutan yang benar agar
tersusun sebuah kalimat.
SIMPULAN
Dalam melakukan pembelajaran membaca permulaan bagi siswa SD perlu diselingi
permainan-permainan, sebab dengan permainan siswa dapat belajar dengan senang,
gembira sehingga dapat membebaskan dari berbagai kendala psikologis yang
menghambat pembelajaran membaca, misalnya rasa takut, malas, bosan. Tujuan
utama pembelajaran dengan permainan bahasa adalah bukan semata-mata untuk memperoleh
kesenangan, tetapi untuk belajar ketrampilan berbahasa tertentu, misalnya
menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Aktivitas permainan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan
pembelajaran
dengan cara yang menyenangkan. Disamping itu permainan dapat
digunakan sebagai penguatan (reinforcement).Siswa kelas awal SD masih
memerlukan dunia permainan untuk membantu menumbuhkan pemahaman terhadap diri
mereka. Pada usia tersebut, siswa mudah merasa jenuh belajar di kelas apabila
dijauhkan dari dunianya yaitu dunia bermain.
Setiap permainan terdapat unsur rintangan atau tantangan yang harus
dihadapi. Tantangan tersebut berupa masalah yang harus diatasi atau diselesaikan.
Bahkan dapat berupa kompetisi yang memunculkan potensi baru.Tantangan yang
diselesaikan tersebut dapat melatih ketrampilan berbahasa siswa.Disamping dapat
melatih siswa memiliki kepekaan daya nalar, emosional, dansosial.
Daftar Rujukan
- Anderson, R. C. 1972. Language Skills in Elementary Education. New York:
Macmillan Publishing Co, Inc.
- Badudu. J. S. 1993. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah:
Tinjauan dari Masa ke Masa, Bambang
Kaswanti Purwo (ed), Pelba 6.
Yogyakarta:
Kanasius.
- Baradja, M. F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP Malang.
- Cleary, Linda Miller dan Michael D. Linn. 1993. Linguistics For Teachers. New
York: Mc Graw-Hill.
- Dworetzky, John. P. 1990. Introduction to Child Development. New York: West
Publishing Company.
- Goodman, Kenneth. 1988. The Reading Process. Dalam Carrell, Patricia L;
Devine, Joanne; & Eskey, David E (eds). Interactive
Approaches to
Second Language Reading.
Cambridge University Press.
- Gibbons, Paulina. 1993. Learning to Learn in a Second Language. Australia:
Heinemann Portmourth NH.
- Muchlisoh. 1992. Materi Pokok Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud.
- Pollit, Theodora. 1994. How Play and Work are Organized in Kindergarten
Classroom. Journal of Research in
Childhood Education. Vol. 9 No. 1.
- Root, Betty. 1995. Membantu Putra Anda Belajar Membaca. Jakarta: Periplus.
- Rofi’uddin, Ahmad. 2003. Faktor Kreativitas Dalam Kemampuan Membaca dan
Menulis Siswa Kelas 5 Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang. Lemlit Universitas
Negeri Malang.
- Syafi’ie, Imam. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas – Kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa Indonesia pada FPBS Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.
- Smith, F. 1985. Reading. Cambridge: Camoridge University Press.
- Semiawan, Conny. R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini.
Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Bodd, Elizabeth; et. All. 1996. Play Learning
and The Early Childhood Curriculum. London:
Paul Charman Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar