Selasa, 08 Januari 2013

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DI BIDANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT LINGKUNGAN KAMPUS



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Lingkungan kampus merupakan lingkungan  sosial. Sebagai lingkungan sosial tentunya terdapat gejala atau masalah ocial, begitupun juga dengan lingkungan kampus sebagai lingkungan sosial maka sudah tentu terdapat pula berbagai masalah sosial di dalamnya. Salah satu dari banyak kemungkinan realitas masalah social yang terjadi di lingkungan kampus adalah masalah yang berkaitan dengan perbedaan suku bangsa, agama, ras yang ada di Indonesia.
          Kita sering mendengar, bahwa banyak mahasiswa yang bentrok dengan mahasiswa lainnya, dikarenakan mereka saling berbeda suku, agama, dan ras. Bentrokan terjadi karena tiap mahasiswa memiliki sikap Chauvinisme yang kuat dalam diri mereka. Chauvinisme adalah sikap dimana mereka menganggap bahwa kebudayaannya yang paling baik dibandingkan kebudayaan lain.
          Sikap chauvinisme dikalangan mahasiswa tentu akan berefek negatif dalam pembangunan menuju Indonesia yang maju. Dengan adanya sikap chauvinisme tentu akan memecah belah persatuan Indonesia yang tentu akan menghambat pembangunan nasional.
          Untuk itulah pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi sangat diperlukan. Yaitu untuk membentuk kepribadian generasi muda yang memiliki moral baik.
          Selain itu, Pancasila juga dijadikan sebagai Paradigma dalam pembangunan social-budaya di lingkungan kampus. Karena dalam sila-sila pancasila memiliki kandungan nilai yang bersikap Humanistik, yang artinya bahwa sila-sila dalam pancasila bersumber pada harkat dan martabat manusia.
          Pertikaian-pertikaian yang sering terjadi dikalangan mahasiswa merugikan, oleh karena itu kita harus memiliki elemen-elemen yang mampu mengendalikan emosi para mahasiswa, agar tidak terjebak dalam perbedaan yang ada.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian dari paradigma ?
2.    Bagaimana peran Pancasila sebagai sosial pembangunan sosial-budaya di
lingkungan kampus ?

BAB II
PEMBAHASAN
1.        Pengertian Paradigma
            Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
            Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
            Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
            Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
            Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
            Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
            Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
            Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
            Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1.      Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3.      Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
4.      Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5.      Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2.        Peran pancasila sebagai paradigma pembangunan sosial-budaya di Lingkungan
Kampus
                        Pendidikan hakekatnya sebagai upaya sadar dari masyarakat dan pemerintah          suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi           penerusnya selaku warga masyarakat, bangsa dalam Negara, secara berguna dan     bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan dengan dinamika perubahannya karena adanya pengaruh global.
                        Untuk menjawab itu dibutuhkan pembekuan ilmu pengetahuan, teknologi dan        seni yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya bangsa yang        dapat menjadi pedoman hidup warga Negara.
                        Keanekaragaman suku, adapt-istiadat, dan agama serta berada pada ribuan             pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk terjadi     keanekaragaman kehendak dalam kehidupan kampus  karena tumbuhnya sikap       premordalisme sempit, yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negative, oleh karena itu dalam pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan alat perekat antar           mahasiswa dengan adanya kesamaan cara pandang          tentang misi dan visi yang ada di       lingkungan kampus. Dengan adanya Pancasila dapat dijadikan sebagai suatu elemen         mampu menahan emosi dari banyaknya perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus. Agar dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis, aman, tentram,       nyaman, dan adil di lingkungan kampus.
            Faktor utama Pancasila mesti dipertahankan karena sejak lama konsep Soekarno-Hatta ini telah teruji sebagai faktor pemersatu bangsa. "Bangsa kita ini sangat beragam, mulai agama, suku, hingga golongan.
                        Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang      memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual         dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi      merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan kontribusi bagi             terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas         yang dimiliki untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan         bernegara.
                        Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola     orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan        Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara           tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan hanya menciptakan suatu    mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu          menumbuh-kembangkan nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah      bahwa di dalam pendidikan – terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena         pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks         secara ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu,             masyarakat bangsa dan negara.
                        Sebagai komunitas ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun       responsibilitas yang bersifat konseptual dan solutif tentang berbagai hal yang      berkaitan dengan situasi-kondisi yang berkembang ditengah masyarakat. Dengan             demikian perguruan tinggi menjadi media/ sarana yang mampu mentransformasikan    relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai kapasitasnya sesuai   dengan dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons          perkembangan zaman yang saat ini sudah berdimensi global.
                        Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan amanat UUD 1945, Tap MPR No.          II/MPR/1993 dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan     bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945   diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa,            mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa        terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun             dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan        nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
                        Penyelenggaraan Pendidikan nasional harus mampu meningkatkan,             memperluas dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta   membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di     segenap masyarakat. Lebih jauh ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang        Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa Pancasila sudah tidak menjadi satu-satunya             azas, Pancasila telah menjadi sebuah ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan         berdasarkan kultur dan kepribadian bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa        kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama     dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan disemua          jalur, jenis dan jenjang pendidikan nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di             Perguruan Tinggi harus terus menerus ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya,       dikembangkan kecocokan metodologi pengajarannya, di-efisien dan di-efektifkan manajemen lingkungan belajarnya. Dengan kata lain perguruan tinggi memiliki peran   dan tugas untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa       untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.
                        Disamping itu, kalau ditilik kembali secara yuridis formal, perkuliahan        Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, juga tertuang dalam Undang-Undang No.            2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 39 dalam undang-undang       tersebut menegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan,     wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan           Agama. Demikian juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 60 tahun 1999 tentang        Pendidikan Tinggi, pasal 13 (ayat 2) ditetapkan bahwa kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara lebih rinci         perkuliahan Pancasila diatur dalam surat keputusan Dirjen Dikti RI No.             467/DIKTI/KEP/1999 yang merupakan penyempurnaan dari keputusan Dirjen DIKTI       No. 356/DIKTI/KEP/1995. Dalam Surat Keputusan Dirjen DIKTI No. 467/DIKTI/KEP/ 1999 tersebut dijelaskan pada pasal 1 bahwa mata kuliah pendidikan           Pancasila yang mencakup filsafat Pancasila merupakan salah satu komponen yang           tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah umum dalam suatu susunan       kurikulum inti perguruan tinggi. Pasal 2 menjelaskan bahwa mata kuliah pendidikan    Pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada   perguruan tinggi untuk program Diploma dan program Sarjana. Sementara pasal 3             menjelaskan bahwa pendidikan Pancasila dirancang untuk memberikan pengertian             kepada mahasiswa tentang Pancasila sebagai filsafat/ tata nilai bangsa, sebagai dasar          negara dan ideologi nasional dengan segala implikasinya.
                        Dari paradigma pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan     tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua mata kuliah itu memiliki nilai fundamental          bagi sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Namun demikian apapun dan             dalam bentuk apapun sebuah konsep ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan           iklim dan situasi yang berkembang – termasuk di dalamnya adalah mengenai             intepretasi, sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan realitas. Dalam        konteks yang demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini,         pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya       memang pernah mengalami homogenitas intepretasi dan manipulasi politik sesuai   dengan selera dan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang          berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam            kedudukan seperti itu, Pancasila tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta       pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan     dimanipulasi demi kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang-pun ketika iklim demokratisasi dan demokrasi telah terbuka – yang ditandai dengan jatuhnya rezim       Soeharto, sebagian masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan       mengintepretasikan Pancasila secara subyektif. Berbicara tentang Pancasila, maka             identik dengan Orde Baru – Golkar dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita          membicarakan mata kuliah Kewiraan (baca : Kewarganegaraan), dibenak sebagian             masyarakat yang melekat adalah gambaran rezim militer dengan segala konsekwensi   perilaku di masa lalunya yang menakutkan dan membuat trauma masyarakat.
                        Melihat stigma berfikir masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan   Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba meluruskan sekaligus mendudukkan             Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang lebih ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus persepsi salah sebagian masyarakat dengan             meredusir atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan Kewarganegaraan        di mata publik, khususnya civitas akademika.








BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
            Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
            Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
            Keanekaragaman suku, adat-istiadat, dan agama serta berada pada ribuan   pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk terjadi keanekaragaman kehendak dalam kehidupan kampus  karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit, yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negative, oleh karena itu dalam pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan alat perekat antar mahasiswa dengan adanya kesamaan cara pandang tentang misi dan visi yang ada di     lingkungan kampus. Dengan adanya Pancasila dapat dijadikan sebagai suatu elemen mampu menahan emosi dari banyaknya perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus. Agar dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis, aman, tentram, nyaman, dan adil di lingkungan kampus.

SARAN
Seharusnya kampus menjadi sarana dalam  pembentuk kepribadian, karena :
  1.  Kampus merupakan wadah kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sekaligus merupakan tempat persemaian dan perkembangan nilai – nilai luhur.

  1. Kampus merupakan wadah perkembangan nilai – nilai moral, di mana seluruh warganya diharapkan menjunjung tinggi sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh pancasila.
 Kampus merupakan wadah membentuk sikap yang da pat memberikan kekuatan moral yang mendukung lahir dan berkembangnya sikap mencintai kebenaran dan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar