BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan
kampus merupakan lingkungan sosial.
Sebagai lingkungan sosial tentunya terdapat gejala atau masalah ocial,
begitupun juga dengan lingkungan kampus sebagai lingkungan sosial maka sudah
tentu terdapat pula berbagai masalah sosial di dalamnya. Salah satu dari banyak
kemungkinan realitas masalah social yang terjadi di lingkungan kampus adalah
masalah yang berkaitan dengan perbedaan suku bangsa, agama, ras yang ada di
Indonesia.
Kita
sering mendengar, bahwa banyak mahasiswa yang bentrok dengan mahasiswa lainnya,
dikarenakan mereka saling berbeda suku, agama, dan ras. Bentrokan terjadi
karena tiap mahasiswa memiliki sikap Chauvinisme yang kuat dalam diri mereka.
Chauvinisme adalah sikap dimana mereka menganggap bahwa kebudayaannya yang
paling baik dibandingkan kebudayaan lain.
Sikap chauvinisme dikalangan mahasiswa
tentu akan berefek negatif dalam pembangunan menuju Indonesia yang maju. Dengan
adanya sikap chauvinisme tentu akan memecah belah persatuan Indonesia yang
tentu akan menghambat pembangunan nasional.
Untuk itulah pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi sangat diperlukan. Yaitu untuk membentuk kepribadian generasi
muda yang memiliki moral baik.
Selain itu, Pancasila juga dijadikan
sebagai Paradigma dalam pembangunan social-budaya di lingkungan kampus. Karena
dalam sila-sila pancasila memiliki kandungan nilai yang bersikap Humanistik,
yang artinya bahwa sila-sila dalam pancasila bersumber pada harkat dan martabat
manusia.
Pertikaian-pertikaian yang sering
terjadi dikalangan mahasiswa merugikan, oleh karena itu kita harus memiliki
elemen-elemen yang mampu mengendalikan emosi para mahasiswa, agar tidak
terjebak dalam perbedaan yang ada.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari paradigma ?
2.
Bagaimana peran Pancasila sebagai sosial
pembangunan sosial-budaya di
lingkungan
kampus ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Paradigma
Istilah
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia.
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak
cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi
human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial
budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada
pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai
kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai
warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan
kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan -
kebudayaan di daerah:
1. Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa;
2. Sila
Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya;
3. Sila
Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa
yang berdaulat;
4. Sila
Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini
sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan
kepentingan perorangan;
5. Sila
Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
2.
Peran
pancasila sebagai paradigma pembangunan sosial-budaya di Lingkungan
Kampus
Pendidikan hakekatnya
sebagai upaya sadar dari masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan
generasi penerusnya selaku warga
masyarakat, bangsa dalam Negara, secara berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan dengan dinamika
perubahannya karena adanya pengaruh
global.
Untuk menjawab itu
dibutuhkan pembekuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai
budaya bangsa yang dapat menjadi
pedoman hidup warga Negara.
Keanekaragaman suku,
adapt-istiadat, dan agama serta berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan
untuk terjadi keanekaragaman kehendak
dalam kehidupan kampus karena tumbuhnya
sikap premordalisme sempit, yang
akhirnya dapat terjadi konflik yang negative, oleh karena itu dalam pendidikan di lingkungan Perguruan
Tinggi dibutuhkan alat perekat antar mahasiswa
dengan adanya kesamaan cara pandang tentang
misi dan visi yang ada di lingkungan
kampus. Dengan adanya Pancasila dapat dijadikan sebagai suatu elemen mampu menahan emosi dari banyaknya
perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus.
Agar dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis, aman, tentram, nyaman, dan adil di lingkungan kampus.
Faktor
utama Pancasila mesti dipertahankan karena sejak lama konsep Soekarno-Hatta ini
telah teruji sebagai faktor pemersatu bangsa. "Bangsa kita ini sangat
beragam, mulai agama, suku, hingga golongan.
Perguruan Tinggi adalah
suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang memiliki
karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual dilahirkan, dikembangkan dan
diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan
kontribusi bagi terciptanya
proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk dikembangkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Esensi peran dan fungsi
perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang
biasa dikenal dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan
tinggi bukan hanya menciptakan suatu mekanisme
kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di dalam
pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa
di dalam pendidikan – terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena pendidikan hanya diperuntukkan bagi
kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks secara
ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu, masyarakat bangsa dan negara.
Sebagai komunitas
ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun responsibilitas
yang bersifat konseptual dan solutif tentang berbagai hal yang berkaitan dengan situasi-kondisi yang
berkembang ditengah masyarakat. Dengan demikian
perguruan tinggi menjadi media/ sarana yang mampu mentransformasikan relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan
dalam berbagai kapasitasnya sesuai dengan
dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons perkembangan zaman yang saat ini sudah
berdimensi global.
Berkaitan dengan itu
maka sesuai dengan amanat UUD 1945, Tap MPR No. II/MPR/1993 dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional yang
berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta
harkat dan martabat bangsa, mewujudkan
manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya
dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Penyelenggaraan
Pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas
dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap
masyarakat. Lebih jauh ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa
Pancasila sudah tidak menjadi satu-satunya azas,
Pancasila telah menjadi sebuah ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan berdasarkan kultur dan kepribadian
bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa kurikulum
dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan terus
ditingkatkan dan dikembangkan disemua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi harus terus menerus
ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya, dikembangkan kecocokan metodologi pengajarannya, di-efisien dan
di-efektifkan manajemen lingkungan
belajarnya. Dengan kata lain perguruan tinggi memiliki peran dan tugas untuk mengkaji dan memberikan
pengetahuan kepada semua mahasiswa untuk
benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.
Disamping itu, kalau
ditilik kembali secara yuridis formal, perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, juga tertuang dalam
Undang-Undang No. 2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 39 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa isi kurikulum
setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, wajib
memuat pendidikan Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Agama. Demikian juga di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 13 (ayat 2) ditetapkan bahwa
kurikulum yang berlaku secara nasional
diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara lebih rinci perkuliahan Pancasila diatur dalam surat
keputusan Dirjen Dikti RI No. 467/DIKTI/KEP/1999
yang merupakan penyempurnaan dari keputusan Dirjen DIKTI No. 356/DIKTI/KEP/1995. Dalam Surat
Keputusan Dirjen DIKTI No. 467/DIKTI/KEP/
1999 tersebut dijelaskan pada pasal 1 bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila yang mencakup filsafat
Pancasila merupakan salah satu komponen yang tidak
dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah umum dalam suatu susunan kurikulum inti perguruan tinggi. Pasal 2
menjelaskan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila
adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi untuk program Diploma dan
program Sarjana. Sementara pasal 3 menjelaskan
bahwa pendidikan Pancasila dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang Pancasila
sebagai filsafat/ tata nilai bangsa, sebagai dasar negara dan ideologi nasional dengan segala implikasinya.
Dari
paradigma pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua mata
kuliah itu memiliki nilai fundamental bagi
sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Namun demikian apapun dan dalam bentuk apapun sebuah konsep
ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan iklim dan situasi yang berkembang – termasuk di dalamnya
adalah mengenai intepretasi,
sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan realitas. Dalam konteks yang demikian itu, seperti yang
sudah dijelaskan di awal tulisan ini, pendidikan
Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya memang pernah mengalami homogenitas
intepretasi dan manipulasi politik sesuai dengan
selera dan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi
negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan
seperti itu, Pancasila tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara
Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi
demi kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang-pun ketika iklim demokratisasi dan demokrasi telah terbuka –
yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto,
sebagian masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan mengintepretasikan Pancasila secara subyektif. Berbicara
tentang Pancasila, maka identik
dengan Orde Baru – Golkar dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita membicarakan mata kuliah Kewiraan (baca
: Kewarganegaraan), dibenak sebagian masyarakat
yang melekat adalah gambaran rezim militer dengan segala konsekwensi perilaku di masa lalunya yang menakutkan dan
membuat trauma masyarakat.
Melihat stigma berfikir
masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba meluruskan sekaligus
mendudukkan Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang lebih ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus
persepsi salah sebagian masyarakat dengan meredusir
atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan Kewarganegaraan di mata publik, khususnya civitas
akademika.
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Paradigma
adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain
seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat
manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Keanekaragaman
suku, adat-istiadat, dan agama serta berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk
terjadi keanekaragaman kehendak dalam kehidupan kampus karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit,
yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negative, oleh karena itu dalam
pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan alat perekat antar
mahasiswa dengan adanya kesamaan cara pandang tentang misi dan visi yang ada di
lingkungan kampus. Dengan adanya Pancasila
dapat dijadikan sebagai suatu elemen mampu menahan emosi dari banyaknya
perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus. Agar dapat mewujudkan kehidupan
yang demokratis, aman, tentram, nyaman, dan adil di lingkungan kampus.
SARAN
Seharusnya kampus
menjadi sarana dalam pembentuk
kepribadian, karena :
- Kampus merupakan wadah kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sekaligus merupakan tempat persemaian dan perkembangan nilai – nilai luhur.
- Kampus merupakan wadah perkembangan nilai – nilai moral, di mana seluruh warganya diharapkan menjunjung tinggi sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar