APRESIASI
SENI TARI BEDHAYA KETAWANG
Bedhaya
berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau budi. Dalam
perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya. Penggunaan
istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses olah fikir
dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari kraton,
sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang berarti
tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para
penarinya sangat pelan.
Tari
Bedhaya Ketawang dipercaya merupakan reaktualisasi percintaan Kanjeng Ratu
Kidul dengan Panembahan Senopati (raja pertama Dinasti Mataram Islam). Konon,
tari ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul bersama Panembahan Senopati.
Setelah Panembahan Senopati mengikat janji dengan Kanjeng Ratu Kidul, ia
meminta Kanjeng Ratu Kidul datang ke Kraton Mataram untuk mengajarkan tari
Bedhaya Ketawang kepada penari-penari kesayangan Panembahan Senapati. Kanjeng
Ratu Kidul menyanggupi permintaan tersebut dan setiap hari Anggara Kasih
(Selasa Kliwon) ia hadir di Kraton Mataram untuk mengajarkan tarian tersebut.
Selain itu busana dan tata rias penari Bedhaya Ketawang pun diyakini sebagai
ciptaan Kanjeng Ratu Kidul.
Berdasarkan
kepercayaan tersebut, maka ketika tari Bedhaya Ketawang hendak dipagelarkan
harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai pemilik tari. Untuk itu
dilaksanakan ritual caos dhahar, yang merupakan manifestasi suatu kebaktian dan
usaha untuk berkomunikasi dengan roh halus atau dunia gaib. Caos dhahar
dilaksanakan 5 kali, yaitu pertama menghadap ke selatan ditujukan kepada
Kanjeng Ratu Kidul, lalu menghadap ke utara untuk Bathari Durga, menghadap ke
barat untuk Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, dan terakhir kembali menghadap ke
selatan untuk berpamitan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Ritual tersebut dilakukan
dengan harapan Kanjeng Ratu Kidul akan berkenan hadir dan turut terlibat baik
dalam latihan maupun pagelaran yang akan dilaksanakan.
Raja-raja Dinasti Mataram Islam terutama
Panembahan Senopati dan Sultan Agung sering dihubungkan dengan Kanjeng Ratu
Kidul, baik dalam bentuk cerita lisan maupun babad. Hal tersebut tidak lepas
dari upaya legitimasi kekuasaan para raja tersebut. Dengan menghubungkan diri
dengan tokoh mistik yang sangat dihormati, maka seorang raja akan memperoleh
legitimasi yang kuat dan meminimalkan kemungkinan adanya pemberontakan.
Oleh
karena itu, ketika Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Surakarta meminta tari
Bedhaya Ketawang sebagai pertunjukan sakral istana. Sedangkan kraton
Yogyakarta, mencipta bedhaya Semang. Bedhaya Ketawang dibawakan oleh 9 penari
wanita dan dianggap sebagai induk munculnya jenis tari Bedhaya lainnya.
Kesembilan penari tersebut memiliki posisi masing-masing yang disebut sebagai
batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu,
dhadha, serta boncit. Masing-masing posisi merupakan suatu simbol, yaitu:
· Apit mburi: melambangkan lengan
kiri
· Apit ngarep: melambangkan lengan kanan
· Apit meneng: melambangkan kaki kiri
· Batak: mewujudkan jiwa dan pikiran
· Buncit: mewujudkan organ seks
· Dadha: melambangkan dada
· Endhel ajeg: mewujudkan nafsu atau
keinginan hati
· Endhel weton: melambangkan kaki kanan
· Jangga (gulu): melambangkan leher
Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang
dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini
sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana
terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga
sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara
(Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa
(Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9
dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu
simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga
keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan
makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging
pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.
Sebagai
tarian yang sangat sacral, maka para penari Bedhaya Ketawang haruslah seorang
gadis yang suci dan tidak sedang haid. Apabila sang penari sedang memperoleh
haid, ia tetap diperbolehkan menari dengan meminta izin terlebih dahulu kepada
Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, harus dilakukan caos dhahar di Panggung
Sanggabuwana, suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan Sunan
dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan
sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk
suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama
beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan
para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan
sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para
penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu
Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik
dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan.
Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa
mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak
dibawa ke Laut Selatan.
Sebagai
penyempurna tampilan para penari, maka beberapa hari menjelang pagelaran, para
penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain,
melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat
terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri.
Sementara itu busana dan tata rias yang
dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya
pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya
Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng
Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang
lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan,
serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain
panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada
masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat
untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan
Serimpi.
Sebagaimana
pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki
dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna
dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi
warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna
hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya
mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun
tulak.
Kata
bangun tulak berasal dari kata bango dan tulak. Bango merupakan nama sejenis
burung yang dipercaya memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu tulak
berarti mencegah bala atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah
gadhung mlathi yang memiliki lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna
gadhung dan lapisan tengah berwarna putih sebagaimana warna bunga melati. Kain
tersebut dikenakan sebagai bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul, karena
dipercaya beliau sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan simbol
kemakmuran, ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot tersebut
dihiasi dengan motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini
berkaitan dengan elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu
penggambaran seisi belantara yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan,
yaitu:
a. Ragam hias garuda
b. Ragam hias kura-kura
c. Ragam hias ular
d. Ragam hias burung
e. Ragam hias Meru
f. Ragam hias Pohon Hayat
g. Ragam hias Ayam Jantan
h. Ragam hias kijang
i. Ragam hias gajah
j. Ragam hias burung bangau
k. Ragam hias harimau
l. Ragam hias motif kawung
Namun
sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang
yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5
kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari
kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah,
di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang
disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam suatu
pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif
Cakaran berwarna merah.
Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang
menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya
memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam
suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah,
ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas.
Dari
uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan
beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit
dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh
karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik
karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan
tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang bertugas
mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana tersebut rusak
ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama membetulkan
busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang menyesuaikan
dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan baik
karena sedang membawakan tari pusaka.
Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya
Ketawang, maka wajah para penari tersebut juga dirias selayaknya pengantin.
Untuk itu pada bagian dahi dilukiskan beberapa bentuk, yaitu:
1.
gajahan, bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-tengah
dahi ± 3 cm di atas kedua pangkal alis
dengan lebar pada pangkal dahi ± 4 cm. apabila ditarik garis lurus pada
ujungnya secara vertical tepat pada ujung hidung. Merupakan lambang kendaraan
raja yang menyimbolkan kedudukan luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling
besar, dan paling baik agar menjadi manusia sempurna.
2.
pengapit, berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil. Bentuk
ini terletak pada dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung
pengapit jika ditarik dengan garis lurus akan bertemu di suatu titik antara
kedua pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari semua unsur bentuk paes dan
disebut cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm. Merupakan pendamping
kiri-kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi manusia sempurna
harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping kanan
sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap
kuat dan teguh imannya.
3.
penitis berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung. Bentuk
ini mempunyai ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti
halnya pengapit, bentuk ini terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan
pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke ujung alis. Merupakan symbol kearifan
dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
4.
godheg berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran mirip
dengan pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri. Pembuatan
godheg dimulai dari atas telinga turun melengkung sampai di depan telinga.
Melambangkan bahwa manusia harus mengetahui asal usul dari mana ia datang dan
ke mana harus pergi. Manusia diharapkan dapat kembali ke asal dengan sempurna.
5.
alis penari berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut
menjangan ranggah. Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala serangan
buruk dari beberapa arah harus selalu waspada dan bijaksana atau “tanggap ing
sasmita”.
Bentuk-bentuk
tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang dibuat dari
campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada jaman dahulu
ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun dhandhang
gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang gendhis.
Sebagaimana pengantin, maka rambut para
penari Bedhaya Ketawang juga disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor
mengkurep. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai bokor yang
tengkurap. Sanggul ini ditutup dengan rajutan melati dan dihias dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari
roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan
keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian seperangkat
perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja keputren, meliputi
cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul, garuda mungkur,
kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin
yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah
mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu
Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi
Kerajaan Mataram, salah satunya dengan ia akan selalu memperbaharui
pernikahannya dengan raja – raja Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan
mengangkat salah satu penari Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini
dilakukan untuk mereaktualisasikan pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang
dipercaya selalu hadir setiap tari ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya
akan masuk ke tubuh salah satu penari, yang kemudian diangkat sebagai selir
oleh raja. Oleh karena itu para penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Dalam
bedhaya ketawang ini gerak yang mendominasi adalah gerakan-gerakan yang sangat
lembut dan sangat pelan. Sehingga kelemah gemulaian sang penari sangat
terlihat. Selain itu perubahan level sang penari dari duduk, berdiri, jongkok
maupun membungkuk membuat gerakan menjadi dinamis dan tidak monoton. pola
lantai yang digunakkannya pun berubah-ubah dalam setiap bagian, dengan adanya
pergerakan maupun perubahan level dari para penari. Meskipun terkadang pada
saaat tertentu ada penari dibarisan belakang yang tidak kelihatan wajahnya.
Namun hal tersebut justru menambah keharmonisan dan kedinamisan gerakan-gerakan
yang dilakukan para penari. Ditambah lagi dengan iringan suara gamelan serta
tembang-tembang jawa. Semakin menguatkan suasana dan menciptakan suatu harmoni yang
indah selaras dengan gerakan yang ditarikan.
Penggunaan
tata rias dan busana dalam tarian klasik ini, Seperti yang telah disebutkan
diatas dibuat sedemikian rupa sehingga mereaktualisasikan tema yang ingin
disampaikan. Meskipun begitu, hal tersebut justru akan mengganggu sang penari
karena kostum yang digunakan sewaktu-waktu dapat rusak pada saat menari. Kostum
yang digunakan hendaknya dipilih dari bahan-bahan dan model-model yang nyaman
dipakai, tidak mengganggu, tanpa mengabaikan penggambaran tema yang akan
disampaikan.
Jadi,
secara keseluruhan unsur-unsur yang terdapat dalam tari bedhaya ketawang ini,
semuanya telah terjalin secara harmonis dalam mereaktualisasikan dan menguatkan
tema yang digunakan, yaitu mengenai kisah percintaan antara Kanjeng Ratu Kidul
dengan Panembahan Senopati (raja pertama Dinasti Mataram Islam). Baik
gerakan-gerakannya, suasana yang diciptakan, musik dan tembang yang mengiringi
serta tata rias dan tata busana yang digunakan. Kekurangan-kekurangan kecil
yang terdapat di dalamnya dapat terbalut secara sempurna sehingga terbentuk
suatu tarian yang indah sekaligus sakral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar